~~ Selamat Datang di Blog Bima Lanang. Salam Hangat Selalu Dari Kami Blogger NTB. Semoga Kita Senantiasa Dapat Selalu Tersenyum ~~

Senin, 28 Maret 2011

Asmara Terhalang Kasta

182688_193877213969973_100000430882611_589947_5765145_a Adalah Angga seorang remaja yang baru saja tumbuh dewasa. Di usianya 24 tahun ia mengenal sesosok gadis yang kemudian dia panggil "Sayang". Gadis itu bernama Citra, usianya dua tahun lebih muda dari Angga.

 

Ku perhatikan mereka begitu akur. Awalnya aku kira mereka hanyalah sahabat biasa namun lama-kelamaan ku pastikan mereka menjalin asmara walaupun sebenarnya mereka tidak mengakui itu semua.

Sore itu gerimis membasuh seluruh kota, ku sempatkan mampir ke rumah Angga yang juga adalah saudara sepupu ku. Rumahnya tampak begitu sepi. Tiga kali ku ucapkan salam tidak ada yang menjawab.

 

"Assalamu'alaikum, Angga, Lililis, Tante" Panggilku

 

Saat itu aku begitu kelelahan. Seperti biasa aku bekerja keliling kota, dari ujung hingga ke pelosok menawarkan barang-barang ke toko-toko yang ada dan kali ini kebetulan aku melewati desa tempat tinggal tante Husna.

 

Beberapa lama ku tunggu tetap tak ada yang menjawab akhirnya ku putuskan membuka pintu depan yang tidak terkunci. Ku duduk di sofa yang tampak usang. Perabot-perabot pun masih seperti sepuluh tahun silam dan belum ada yang diganti. Di bagian pojok ruangan itu ku lihat ada sebuah majalah, lagi-lagi majalah edisi lama, edisi sepuluh tahun silam.

Memang sangat jarang aku datang berkunjung ke rumah tante ku. Dapat aku ingat barang-barang serta perabotan yang ada semuanya tidak berubah, sama seperti sepuluh tahun silam, saat aku tinggalkan Kota ini. Entah mengapa, mungkin saja karena kondisi ekonomi mereka yang kurang sehingga tidak mampu membeli barang-barang dan perabotan baru.

Ku lihat jam di handphone ku sudah menunjukkan pukul 17.30. Ku bangkit dari sofa dan meletakkan kembali majalah tempo dulu yang telah ku baca. Sayup-sayup terdengar ada suara dari arah pintu belakang.

 

"Putra, dari tadi kamu datang?",  tanya tante Husna.

"Ia tante, dari tadi Putra salam gak ada yang sahut, karena pintu juga tidak terkunci akhirnya Putra masuk aja", jawab ku.

"Kamu sudah makan? ayo makan dulu, tante lihat kamu begitu lelah", Tawar tante ku.

"Sudah tante, Putra mau pamit pulang, takut kemalaman di jalan. Angga dan Lilis kemana tan, Putra kok gak lihat mereka?", tanyaku.

"Adik-adikmu sedang keluar, sebentar lagi mereka juga akan pulang", sahut tante ku.

"Kamu duduk dulu sebentar tante buatkan teh hangat ya biar badan mu hangat", tawar tante ku dengan raut wajah yang nampak sedih.

"Terima kasih tante, lain kali aja, Putra takut kemalaman dijalan", aku coba menolak.

"Jangan menolak, tunggu saja disitu lagian sekarang masih sore. Jadi laki-laki harus berani", paksa tanteku.

"Tan, Putra lihat tante sedih, apa tante sedang ada masalah", tanya ku.

Tante Husna hanya menjawab dengan senyuman yang kurasa itu hanya menutupi masalah yang kini sedang ia rasakan.

 

Sambil menunggu teh yang akan dihidangkan Tante Husna aku kembali duduk di sofa. Majalah edisi sepuluh tahun yang berada di meja sebelah sofa kembali ku ambil. Aku begitu menikmati cerita pendek dalam majalah itu sampai-sampai aku tidak sadar ternyata jam sudah menunjukkan pukul 18.00.

 

Aku segera bergegas ingin pulang tapi Tante Husna yang sedari tadi ingin menyuguhi ku teh panas belum juga muncul. Lalu aku pun masuk ke dalam dapur dan ternyata ku lihat Tante Husna sedang menangis yang begitu sedihnya.

 

"Tante kenapa menangis", tanya ku penasaran

Tante Husna hanya menggeleng-gelengkan kepala seakan tidak ingin berbagi rasa dengan ku.

"Ayo tante, ada masalah apa? Mungkin Putra bisa membantu", ujar ku.

Tante Husna tetap menggeleng-gelengkan kepala.

Sejenak aku terdiam sembari ku usapkan air mata Tante Husna yang telah membasahi mata dan pipinya.

"Tante, kenapa Tante bersedih? dengan terus-terusan menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Putra yakin seandainya Tante bersedia menceritakan kesedihan Tante kepada Putra, pasti Tante akan sedikit lega", ku coba menenangkan Tante Husna.

Tante Husna bangkit dari kursi sambil menyuguhkan segelas teh hangat untukku.

"Ayo diminum tehnya", ucap Tante Husna lalu kembali duduk di kursi dihadapan ku

Ku nikmati teh yang sudah mulai dingin itu. Sungguh terasa begitu menyegarkan. Ku tatap wajah Tante yang duduk persis depan ku. Dapat ku rasakan sungguh sangat besar masalah yang dihadapinya.

"Tan, tehnya terasa nikmat sekali, Tante memang pintar meramu teh panas", aku coba menggoda Tante agar dapat tersenyum.

 

Suasana kembali hening, tatapan mata Tante Husna sangat dalam seakan ada sejuta beban yang tengah ia hadapi. Ku genggam erat kedua tangannya dan mencoba ingin merasakan kegundahan Tante Husna.

 

Tante Husna melepaskan genggaman tangan dan mengusap mata dan pipinya yang telah basah oleh air matanya.

"Putra, Tante sangat terpukul karena ulah adikmu Angga", ucap Tante mencoba untuk bercerita sambil menarik napas yang sungguh dalam.

"Maksud Tante ?", tanya ku penasaran.

"Hmm,,, Angga sudah lama berpacaran dengan Citra. Tante melihat keduanya saling sayang. Citra juga begitu baik terhadap adik mu Lilis", Tante mulai bercerita walaupun terbata-bata.

"Terus masalahnya apa Tante?", desakku semakin penasaran.

"Sekarang Tante tidak tau ke mana Angga pergi. Baru saja keluarga Citra datang mencari. Kata mereka Angga telah membawa pergi Citra. Keluarga Citra mengancam akan melaporkan ke polisi jika sampai esok hari Angga tidak mengantar Citra kembali ke rumah", lanjut Tante Husna.

"Lantas, kenapa Angga membawa pergi Citra ? Apakah keluarga Citra tidak setuju hubungan mereka?", tanya ku.

"Sebenarnya dari awal orang tua Citra tidak menyetujui hubungan Citra dengan Angga, namun keduanya nekad. Dari dulu Tante selalu menasihati adikmu untuk tidak berhubungan dengan Citra, namun Angga selalu membatah", ungkap Tante Husna.

"Lho, memangnya mengapa keluarga Citra tidak setuju ?", aku bertanya semakin penasaran.

"Tante tidak tau persis, semenjak Citra lulus menjadi Bidan Desa semua berubah dalam sekejap. Dulu Citra sering meminta Angga untuk menjemputnya dirumah, namun beberapa bulan terakhir Tante jarang melihat Citra dijemput Angga", tambah Tante Husna.

"Jika memang Angga yang membawa pergi Citra, lantas kenapa harus dibawa pergi dan kemana mereka pergi ?", aku terus bertanya penasaran.

"Tante tidak tau Putra. Sekarang yang Tante khawatirkan jika keluarga Citra benar-benar melaporkan masalah ini ke pihak berwajib. Jika hal itu terjadi harapan Tante akan sirna. Angga adalah satu-satunya  penyangga keluarga Tante, jika dia ditahan maka siapa lagi yang akan menafkahi Tante dan Lilis. Saat ini Lilis sedang persiapan ujian kenaikan semester tapi biaya semesterannya belum dibayar. Lilis sendiri sekarang sedang cari pinjaman uang. Jika tidak dibayar maka kampusnya tidak membolehkan Lilis mengikuti ujian", tambah Tante Husna.

"Kalau Putra boleh tahu, biaya semestaran Lilis berapa ?" tanya ku.

"Satu Juta Dua Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah. Tante hanya memiliki Tiga Ratus Ribu Rupiah saja", terang Tante Husna.

"Begini Tan, Putra masih ada sisa uang Lima Ratus Ribu Rupiah. Lilis boleh pakai dulu uang itu", aku coba menawarkan.

"Terima kasih Putra, kamu memang keponakan Tante yang sangat baik. Baiklah uang itu Tante pinjam dulu nanti kalau Tante sudah ada uang, Tante akan segera mengembalikannya", sahut Tente.

"Ternyata masalah yang Tante hadapi sungguh berat. Putra menjadi sedih", ungkap ku.

"Sekarang kamu pulanglah,hari sudah mulai gelap, Tante khawatir di jalan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan", pinta Tante Husna.

"Ia Tan, Putra pulang dulu. Jika ada informasi mohon kabari Putra lagi", Sahut ku.

"Tapi bagaimana dengan Angga?, lanjutku bertanya.

"Sudahlah, Angga akan baik-baik saja. Sekarang kamu pulanglah. Ayah dan Ibumu pasti resah menunggumu pulang", desak Tante Husna.

 

Persis pukul 19.00 aku pun bergegas pulang. Tante Husna mengantarku hingga di depan jalan. Tatap matanya terasa menyimpan sejuta kegelisahan. Aku hanya dapat berkata dalam hati. "Semoga Tante Husna kembali ceria tanpa ada masalah".

 

Hawa dingin terasa sangat menusuk. Dalam perjalanan aku terus memikirkan Tante Husna, Angga dan Lilis. Mereka adalah bagian dari kisah hidupku. Tanpa mereka aku mungkin tidak akan mendapatkan pekerjaan ini. Jika Om Surya masih ada pasti keluarga Tante Husna tidak sesulit seperti sekarang ini. Jasa Almarhum Om Surya tidak mungkin aku lupakan.

 

Perjalan pulang dari rumah Tante Husna biasanya terasa singkat, namun kali ini ku rasakan berbeda. Entah karena cuaca dingin dan jalanan yang basah akibat diguyur hujan atau karena aku selalu memikirkan kemakah Angga berada. Dalam hati kecil ku berkata " Oh Tuhan, lindungilah Tante Husna, Angga dan Lilis, semoga mereka dapat lepas dari semua masalah"............

 

~  To Be Continued ~

My Simple Story

Kota Bima 23/02/2011

* Gambar : mohdfekry.blogspot.com

 

Tag Technorati: {grup-tag},,,,

Description: Asmara Terhalang Kasta Rating: 4.5 Reviewer: Bima Lanang - ItemReviewed: Asmara Terhalang Kasta
Jadilah Blogger Yang Jujur. Cantumkan Sumber Link Berikut Jika Anda Mencopy Artikel Ini.


Artikel Terkait:

Berlangganan via email gratis (Click Subscribe, Tunggu Pop Up dan Isi Email Anda):

Posted by: Bima Lanang, Updated at: Senin, Maret 28, 2011

0 komentar :

Posting Komentar

Sebagai Manusia Biasa Saya Masih Banyak Kekurangan. Untuk Itu Kritik dan Saran Yang Membangun Dari Sobat Sangat Besar Saya Harapkan. Terima Kasih Kepada Sobat Yang Telah Meluangkan Waktu Untuk Berkomentar dan Mohon Maaf Jika Komentar Yang Menggunakan Pilihan 'Anonim', Terpaksa Harus Saya Abaikan, Karena “SPAM” Tidak Hanya Melanggar Hukum Tetapi Juga “BERDOSA”

MY BEST FRIENDS